Sabtu, 23 Februari 2013

Kosong


Aku tak pernah sebegini takut sebelumnya. Ini bukan tentang kamu atau mereka. Tapi ini tentang aku.

Aku begitu takut, saat kudapati diriku kosong. Ya, aku kosong.
Mungkin selama ini aku berpura-pura penuh. Aku berpura-pura ada.
Tapi sungguh aku merasa benar-benar kosong melompong.
Hanya beraga, namun tak berisi.
Terus bergerak mengikuti gravitasi. Bumi berputar melahirkan siang dan berganti malam.
Seperti itu pula aku bergerak.
Atau selama ini aku hanya bersembunyi. Bersembunyi diantara nama bertinta emas.
Ahh, aku memang telah memilih ini, menjadikan diriku kosong. Atau ini kutukan.??
Entahlah.!!!

Hujan Sore Itu



Hujan sore itu, mempertemukan kita.
Deras rintiknya memaksa kita duduk berdamping dibawah atap halte.
Aku menatapmu sekelebat saja, namun tatap matamu membekukan tatapanku.
Senyum menghias paras rupawanmu, membuatku jatuh seketika tepat dihatimu.
Lama hujan mengusikmu untuk menanyakan namaku, sekadar membunuh waktu.
Aku tersipu, dengan pipi semerah jambu, kujawab tanyamu.
Seperti semyun kita, hati pun saling menyambut untuk lebih jauh.
Waktu berlalu, jabat tangan terulur sebagai salam perkenalan sekaligus lambaian perpisahan.

Kisah kita berlanjut by phone, selang kurang dari seminggu setelah hujan sore itu, kamu memintaku menemani hari-harimu kedepannya, bahkan mungkin untuk selamanya. Dengan beribu ragu aku menerimanya. Kamu tahu apa yang membuatku ragu.?? Bukan hanya terlalu cepat permintaan itu datang, atau karna aku tahu kamu tidak tulus, tp juga Karna kita terlampau jauh berbeda. Seperti kisah yang sudah-sudah, perbedaan selalu memunculkan noda. Sekecil apa-pun noda itu, pasti ada. Noda yang pada akhirnya hanya merusak segala keindahan.
Aku tak tahu, apa ini pilihan yang tepat,??? Menerimamu. Saat lukaku sendiri belum sembuh benar, saat krisis kepercayaanku terhadap cinta. Apalagi dengan kondisi kita yang seperti ini. Sama-sama main-main. Aku tahu, keputusanku ini cuma menanam bibit, yang pasti kelak akan menumbuhkan rasa sakit lagi. Main-main.?? Ahh, terdengar konyol untuk sebuah komitmen.
Semakin hari semakin aku sadar kalau kita sesungguhnya tak bisa, namun tak sampai hati mengucap pisah sedini ini. Tak ingin memutus harapmu atau merampas senyummu. Atau aku terlalu takut kembali pada status terkutuk itu lagi “Jomblo”. Yaa, aku mempertahankan gelar “Berpacaran” dalam kepalsuan. Kebohongan yang terus melahirkan kebohongan lain. Aku berbohong saat aku bilang menyayangimu, aku berbohong saat aku bilang ingin selamanya denganmu. Nyatanya aku membohongimu juga diriku sendiri. Kebohongan yang belakangan mulai Menyiksaku. Tersiksa karna harus selalu membuka pagimu dengan pesan singkatku, tersiksa saat harus terus memberimu kabar mengenai setiap aktivitasku, tersisksa karna harus selalu meninabobokan kamu lewat pesan singkatku, walau aku tak pernah tahu, siapa yang yang hadir disetiap mimpi malammu. Semakin tersiksa… aku mulai malas menyapamu, malas mengabarimu, malas mendengar cerita-ceritamu tentang mereka yang kamu temui.
Kamu merajut manja, ngambek atau entah apapun itu namanya. Kamu mulai mengirim pesan-pesan merendahkan diri. Memojokkanku.. Menyiksaku dengan caramu yang lain. Dan sungguh aku benci keadaan seperti itu.
Kamu dengan paras “Gantengmu”, dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi juga tidak pendek, dengan kulit bersih yang jauh lebih bersih dari aku. Kamu yang mampu membuat setiap mata hawa yang menatapmu terpesona. Ternyata tak sesempurna yang aku bayangkan. Kamu yang awalnya mampu membuatku klepek-klepek, ternyata tak sejantan adam kebanyakan. Tak sedewasa yang aku harapkan. Bukan pendamping yang aku butuhkan. Memang wajar, parasmu yang lebih mendekati cantik itu tidak cocok kalau tersengat terik matahari terlalu lama, tangan lembutmu itu tidak sepatutnya mengangkat beban berat dan mencetak otot-ototnya.
Sekarang aku tak tahu, melepasmu begitu sulit. Bukan karna aku mencintaimu, tapi karna aku tak tega melihat wajah innocentmu bersedih. Bertahan pun meninggalkan perih tiap detiknya. Aku tidak merasakan rasa nyaman saat berbincang denganmu, aku merasa kita tidak pernah sama. Aku bicara dengan bahasa yang kamu tak mengerti, begitu juga dengan kamu, dan duniamu yang tak pernah aku mengerti. Entah sampai kapan kita bertahan... Dan kelak, saat kamu memilih pergi.

Aku hanya akan menginggatmu sebagai Hujan.
Yang datang, dan seketika menghilang…