Selasa, 12 Maret 2013

Hujan



Hujan baru saja berhenti di luar, menyisakan senja dan langit yang tampak melebar, meluas, membekas pada dahan-dahan pohon, helai-helai daun, dan lembar-lembar kalender. Hujan adalah mahluk purba yang tak pernah lupa membawa berita dari masa lampau, katanya; hujan tidak pernah lupa debaran semangat atau kabar niat, menggugat setiap geliat.
Bagiku, hujan bahkan lebih dari itu; hujan adalah ingatan tentang kehidupan yang dicipta dengan penuh kesabaran; hujan adalah se per Sembilan puluh Sembilan nikmat. Hujan adalah nafas yang menghubungkan kita dengan langit. Dan hujan pula, yang mengalirkan darah dalam nadi, ibu anak-anak bumi.
Hujanlah yang mengutus arus arah sungai, menjadi pengiring serunai, mengirimkan bebuah seuntai, menumbuhkan bebunga setangkai. Hujan pulalah arimbi dari kata-kata manis yang mampu menggubah hatimu, menyembunyikan leluka jiwamu.

Puisi oleh Bezie Galih Manggala. (Novel Catatan Musim, Tyas Effendi)

Minggu, 03 Maret 2013

Terima kasih banyak untuk sore ini.


Latihan CA berjalan seperti biasa. Duduk melingkar, mendiskusikan jadwal acara ini itu, dan dilanjutkan dengan pemanasan. Baris berbanjar, lari-lari kecil mengelilinggi kampus sambil olah vocal, berteriak menyebut AIUEO.  Setelah itu melakukan senam ringan, peregangan otot. Melihat peluh membanjiri kening dan kembang-kempis dada kami, kepala suku CA tahu kami kelelahan, dia pun menginstruksikan agar kami beristirahat sambil menunggu kedatangan pak Artike. Pak Artike adalah salah satu dosen di kampus kami, beliau mengajar  mata kuliah puisi. Sejauh yang saya lihat, beliau memang seorang sastrawan sejati. Salah satu novel karya beliau yang sering saya dengar adalah Insect. Tulisan beliau juga sudah memiliki ruang tetap di salah satu koran nasional dan selalu ditunggu peminatnya. Belakangan saya tahu kalau beliau lulusan UGM, salah satu kampus terbaik negeri ini. Kampus yang terletak di jantung kota kelahiran para seniman, Yogyakarta. Tidak heran, jika aura sastra begitu melekat dalam diri beliau.
Tidak lama kemudian, pak Artike datang dengan  mengendarai sebuah mobil mini berwarna abu-abu. Setelah memarkir mobilnya, beliau keluar dan menghampiri kami yang segera menyambutnya. Penampilan yang sederhana, kaos hitam dan celana pendek, beliau menggapit sebuah tablet dan buku kecil, entah buku apa itu. Seulas senyum mengiringgi langkah beliau, terlihat ramah dan berwibawa. Kami menyambut senyum beliau dan seketika menyalaminya.
Di halaman kampus, tepat dibawah pohon jupun, kami duduk melingkar. Kepala suku CA membuka kegiatan sore itu dengan doa bersama dan dilanjutkan dengan mempersilakan pak Artike bicara. Senja yang indah, setelah memperkenalkan diri satu per satu. Pak Artike bercerita panjang lebar. Diawali dengan bercerita mengenai rasa terima kasih dan harunya untuk buku yang sedang beliau pegang, buku yang awalnya saya kira buku tips menulis atau sebagainya. Ternyata itu buku kumpulan puisi yang di hadiahkan teman-teman CA di peringatan tiga bulanan anak pak Artike beberapa hari lalu. Pak Artike sempat mengira kalau buku yang terselit didalam bingkisan perlengkapan bayi itu adalah buku petunjuk penggunaan mainan anak. Setelah beberapa kali dibaca, beliau baru sadar kalau itu buku kumpulan puisi, serangkaian ucapan dan doa yang dibuat untuk buah hatinya, Geo. “Saya meneteskan air mata haru, saat saya dapati bagian dari diri saya ada dalam puisi ini. Saya bahkan tidak malu menanggis didepan istri dan mbok yang ada dirumah.” Pengakuan beliau. Yaa, pak Artike menceritakannya dengan gaya bercerita yang menurut saya luar biasa. Dan itu membuat saya sangat sangat sangat menyesal karena tidak sempat menyisipkan doa saya untuk buah hati beliau di buku itu. Seandainya waktu bisa diulang. *sesal saya :’(. Selanjutnya beliau menceritakan mengenai perjuangan beliau untuk mendapatkan momongan. Setelah sembilan tahun menikah, permata itu belum juga lahir. Beliau sudah mencoba berbagai macam pengobatan. Mendatangi beberapa dokter kandungan, hingga pergi ke dukun. Namun belum juga mendapatkan hasil. Sampai pada akhirnya beliau memutuskan untuk mencoba program bayi tabung di Denpasar. Harga yang luar biasa mahal dan hasil yang belum pasti pun beliau hiraukan. Beliau tetap mencoba, menaruh harapan pada teknologi. Setelah melalui proses yang cukup rumit, ternyata program bayi tabung tidak berhasil. Dengan sangat kecewa beliau bersama istri pulang dan melanjutkan aktivitas seperti biasa. Namun hebatnya, beliau belum juga menyerah. Segala cara tetap di upayakan. Hingga beliau dan istri kembali mencoba program bayi tabung untuk yang kedua kalinya. Kali ini beliau segaja datang ke Surabaya, menemui dokter yang pernah berhasil menanggani Inul Daratista. Tentu dokter yang jauh lebih mahal dan lebih ahli dari dokter di Denpasar. Kembali proses itu diulang. Dengan sabar pak Artike dan istri menjalaninya. Proses selesai dan kembali pak Artike beserta istri harus menelan kekecewaan. Mereka berkemas dan kembali pulang. Mereka mencoba melupakan semua kejadian dan memulai hidup baru. Merenovasi rumah, membeli tempat tidur yang jauh lebih nyaman. Kehidupan terus berjalan. Kabar  gembira itu pun datang, istri pak Artike terlambat datang bulan. Setelah beberapa kali diperiksa mengunakan testpect, ternyata hasilnya positif. Hal yang mengembirakan. Buah hati yang didamba selama sembilan tahun kini telah lahir.
Cerita yang sangat mengesankan. Kami terhipnotis oleh cerita perjuangan dan kesabaran pak Artike, apalagi dengan gaya bercerita yang begitu memukau. Terasa berat nafas saya. Saya berusaha menahan agar tak ada butiran yang keluar dari ujung mata saya.
Dan senja itu menghilang, gerimis datang bersamaan dengan langit yang menghitam. Tak ada bintang malam ini. Namun malam terasa lebih sempurna dari biasanya. Kami melanjutkan cerita di depan lobi. Diskusi yang mengesankan. Beberapa dari kami bertanya pada pak Artika. Ada yang bertanya mengenai ketakutannya menulis, mengenai pengalamannya menulis, mengenai rasa malas yang menyerang saat hendak menulis, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Pak Artika menjawab pertanyaan kami satu per satu dengan bijak dan sangat sabar. Beliau terus bercerita bercerita mengenai pengalamannya menulis, pengalamannya kuliah di Yogyakarta, sampai dengan cerita-cerita cinta beliau. Meskipun tiba-tiba hujan dan petir hadir tanpa undangan.  Hehehe lucu dan menarik.
Ada salah satu nasehat beliau yang saya ingat betul. “Tentukan tujuan menulismu, untuk berkompetisi atau untuk berekspresi.”. Yaa, saya sering merasa seperti itu. Merasa kalau tulisan saya amat sangat  kacau saat saya membaca tulisan teman, yang isinya jauh lebih bagus dari tulisan saya. Itu pula yang membuat saya takut menulis. Sampai pada akhirnya saya sadar, saya menulis untuk berekspresi buka berkompetisi. Saya menulis untuk diri saya sendiri. Tidak peduli seberapa buruk tulisan saya, saya akan tetap menulis. Saya percaya, waktu akan memperkuat tulisan saya.
Terima kasih banyak pak Atrika, untuk senja, gerimis, hingga hujan dan petir yang mengiringgi kebersamaan kita. Banyak ilmu yang saya bawa tidur malam ini, dan saya yakin saya akan tidur dengan sangat nyenyak. ^_^